
Jus Belalang: Minuman Energi ‘Alami’ India
India adalah tanah penuh kejutan dalam dunia kuliner. Dari makanan kaya rempah yang menggoda lidah hingga sajian ekstrem yang memicu rasa penasaran, negeri ini tak pernah kehabisan cerita. Salah satu fenomena yang muncul, dan cukup membuat banyak orang mengernyitkan dahi, adalah “jus belalang“—sebuah minuman yang diklaim sebagai sumber energi alami oleh sebagian masyarakat pedesaan.
Ya, kamu tidak salah baca. Belalang, serangga hijau bersayap yang sering dianggap hama tanaman, diolah menjadi cairan berprotein tinggi yang diyakini punya banyak manfaat untuk tubuh. Kedengarannya aneh? Bagi banyak orang mungkin begitu. Tapi bagi sebagian komunitas lokal di India, jus belalang adalah minuman tradisional penuh khasiat.
Dari Sawah ke Gelas
Di desa-desa pertanian seperti yang ada di wilayah Telangana, Bihar, dan bahkan beberapa bagian Assam, belalang mudah https://manninospizzeria.com/ ditemukan selama musim-musim tertentu. Masyarakat setempat memanfaatkan kemunculannya sebagai sumber pangan alternatif. Tak hanya digoreng atau dipanggang, belalang juga direbus dan dihancurkan bersama rempah-rempah hingga menghasilkan jus berwarna hijau kecokelatan.
Biasanya, belalang dibersihkan terlebih dahulu, lalu direbus bersama bahan seperti jahe, bawang putih, garam, dan sedikit cabai. Setelah itu, serangga ini dihaluskan hingga menjadi campuran kental yang kemudian disaring untuk menghasilkan jus. Aroma khas serangga bercampur dengan rempah menciptakan bau yang… bisa dibilang, bukan untuk semua orang.
Khasiat atau Sekadar Mitos?
Para pendukung jus belalang percaya bahwa minuman ini kaya akan protein, zat besi, dan energi instan. Konon, para petani dan buruh lapangan yang mengonsumsi jus ini merasa lebih kuat dan tidak cepat lelah. Tak sedikit juga yang percaya bahwa belalang membantu meningkatkan stamina pria dewasa—menjadikannya semacam “viagra alami desa”.
Namun hingga kini, belum ada riset ilmiah yang secara khusus membuktikan manfaat medis dari konsumsi jus belalang secara rutin. Yang jelas, serangga memang dikenal sebagai sumber protein alternatif yang tinggi, dan telah lama dikonsumsi di berbagai budaya, dari Afrika hingga Asia Tenggara.
Antara Inovasi dan Eksentrisitas
Meski terdengar ekstrem, jus belalang mencerminkan kreativitas masyarakat desa dalam memanfaatkan sumber daya lokal. Di tengah krisis pangan atau keterbatasan ekonomi, makanan dan minuman seperti ini menjadi bentuk adaptasi. Tak heran jika tren ini mulai menarik perhatian beberapa kalangan urban yang mencari “superfood alami” atau tertarik dengan gaya hidup berkelanjutan.
Beberapa gerai makanan jalanan bahkan mulai menjual “energy shot” jus belalang dalam botol kecil—tentu saja dengan label yang menarik dan sedikit sensasi marketing.
BACA JUGA: Chutney Lalat: Saus Pedas dengan Tamu Tak Diundang

Jalak Curry: Daging Burung yang Dianggap ‘Tabu’
Di tengah keberagaman kuliner Asia Selatan, terdapat satu hidangan yang langka, kontroversial, dan jarang terdengar namanya di restoran umum: Jalak Curry. Terbuat dari daging burung jalak—yang dalam banyak budaya dianggap sebagai hewan peliharaan atau burung kicau berharga—hidangan ini memicu perdebatan sengit antara pecinta kuliner, pecinta satwa, dan masyarakat umum.
Antara Tradisi dan Kontroversi
Jalak Curry bukanlah hidangan yang mudah ditemukan. Ia umumnya berasal dari daerah https://www.labuanresort.com/ pedesaan di India, Bangladesh, atau bahkan sebagian wilayah Indonesia, yang masih memiliki tradisi berburu dan memasak burung liar. Di daerah tersebut, burung jalak dianggap sebagai sumber protein alternatif, terutama saat kondisi ekonomi sulit atau ketika bahan makanan lain langka.
Namun, di kota-kota besar atau komunitas modern, memakan burung jalak dianggap tabu. Pasalnya, jalak sudah lama dikenal sebagai burung peliharaan eksotis, dikenal karena kemampuannya meniru suara manusia, kecerdasannya, dan keindahan bulunya. Banyak orang memelihara jalak bukan untuk dikonsumsi, tapi sebagai teman hiburan, simbol kemakmuran, bahkan bagian dari keluarga.
Cita Rasa yang Unik
Bagi mereka yang pernah mencicipinya, daging jalak memiliki tekstur lembut dan sedikit lebih kenyal dibanding ayam kampung. Rasanya gurih dan khas, apalagi jika dimasak dengan kari pedas bergaya India atau rendang rempah di Sumatra. Hidangan ini biasanya dimasak dengan campuran bawang putih, jahe, cabai merah, kunyit, dan ketumbar, lalu direbus perlahan hingga daging empuk dan bumbu meresap.
Namun karena ukuran burung yang kecil dan daging yang minim, Jalak Curry lebih sering disajikan dalam porsi kecil dan menjadi makanan eksklusif di lingkungan tertentu.
Aspek Etika dan Konservasi
Di luar rasanya yang menarik, Jalak Curry menimbulkan pertanyaan serius soal etika dan konservasi. Beberapa spesies burung jalak—seperti Jalak Bali—telah dikategorikan terancam punah dan dilindungi oleh hukum internasional. Konsumsi dan perburuan liar terhadap burung jalak dapat mempercepat kepunahan spesies ini, terutama jika tidak dibedakan antara jenis jalak yang umum dan yang langka.
Organisasi pelestari satwa dan pemerhati lingkungan pun mengecam konsumsi daging jalak. Mereka mengimbau masyarakat untuk tidak menjadikan burung jalak sebagai santapan, apalagi jika ditangkap dari alam liar tanpa izin atau pemahaman akan spesiesnya.
Warisan Budaya atau Pelanggaran Moral?
Bagi sebagian komunitas tradisional, Jalak Curry adalah warisan nenek moyang, bagian dari budaya berburu dan bertahan hidup. Tapi di tengah kesadaran global akan keberlangsungan hidup satwa liar, konsumsi burung ini kini mulai dipertanyakan. Apakah kita harus terus melestarikan tradisi kuliner ekstrem jika mengancam spesies langka?
BACA JUGA: Nasi Pecel Madiun: Sambal Kacang Dicampur Daun Jati Bekas Tapi Dicari Banyak Orang